Semalam di Gili Labak: Touring Lintas Pulau dan Lintas Hati

Foto dugang ini dipersembahkan untuk Medi
Foto: Bos Hendri
Ketika menuliskan ini saya sedang senyum-senyum sendiri kemudian terbahak, tiba-tiba tutup muka karena malu dan bisa juga sedih mendadak. Yak, saya sedang teringat potongan-potongan percakapan saat kami berkemah weekend lalu. Dalam postingan saya kali ini tidak akan membahas tentang keindahan atau bagaimana cara menuju ke Gili Labak. Tulisan tentang itu bisa anda temukan di sini. Perjalanan ke Gili Labak saya kali ini adalah perjalanan yang ke-tiga dan saya sedikit terserang demam Hallyu yang membuat saya tak sadar mendedangkan lagu dari CNblue saat di perjalanan darat maupun laut.

Jadi Gili Labak saya yang ke-tiga ini adalah untuk berkemah dan bertamasya ria bersama sahabat-sahabat saya di kampus. Tujuannya tidak bukan adalah untuk membuat kenangan bersama-sama karena sekarang tidak lagi semudah dulu untuk membuat kenangan bersama. Rencana ini juga mendadak yang tadinya hanya ingin mengunjungi pantai dan berkeliling Kabupaten Sumenep jadinya malah banting setir nekat berkemah di sana. Salah satu penyebabnya adalah karena ada salah satu yang bertanya apakah di Lombang bisa dipakai untuk snorkeling. Yasudah tanpa babibu saya menghubungi pemilik perahu kenalan saya dan mengatakan kalau kepastian berangkat saya baru bisa berikan hari rabu, nungguin pengumuman wawancara ke Jepang lolos apa enggak dan ternyata belum beruntung hehe. Rupanya do'a anak-anak biar saya gabung di camping ceria ini lebih dikabulkan daripada do'a lolos ke tahap wawancara.

Sebenarnya berkemah dan mengunjungi Gili Labak bersama mereka adalah keinginan saya dari dulu. Tidak menyangka kalau saya bisa berkemah di sana bersama mereka, dobel bahagia pastinya. Personel perjalanan kali ini ada 10 orang termasuk saya Lainnya ada Tata, Kiki, Anis, Huda, Rifki, Pras, Niko, Sukron, dan Bos Hendri. Sebenernya sayang sekali minus Medi dan Ruddin. Touring kali ini memang bukan touring biasa karena dalam satu hari kita berpindah 4 pulau sekaligus, maka dari itu saya beri judul lintas pulau. Yang pertama tentunya adalah Pulau Jawa tepatnya Surabaya haha yaiyalah startnya kan dari sini, rumah saya tentunya. Hari sabtu tanggal 27 September 2014 dari Surabaya menuju Pulau Madura via Jembatan Suramadu. Ahaha heran juga ini anak-anak cowok pakai sendal tanpa kaus kaki padahal jauhnya Kabupaten Sumenep itu gak ketulungan.

Singkat cerita tak ada halangan berarti saat perjalanan pergi hanya terjebak sekumpulan sapi dan kambing di pasar untuk Hari Raya Qurban dan tilang polisi. Setelahnya kami menuju pulau berikutnya, yaitu Poteran rumah Bapak Sahari yang akan menyewakan perahunya. Kami semua memarkirkan motor di rumah beliau atas nasihat beliau biar motor kami lebih aman. Tuh dari Surabaya (Jawa), Madura, dan Poteran sudah 3 pulau kan? Saya tidak berbohong kan? haha. Tentu saja selanjutnya disambung dua jam perjalanan laut. Sejujurnya saya agak khawatir di perjalanan laut akan banyak yang tumbang karena banyaknya polisi tidur di laut. Eh ternyata benar tapi tidak sampai mengeluarkan bom. Hehe... Memang begitu kalau tidak terbiasa, sama seperti waktu kecil yang saya selalu mabuk darat kalau naik mobil.

Bersama dengan orang-orang menyenangkan seperti mereka, jadinya malah mirip di film-film tentang berlayar yang sudah merindukan daratan. Menyenangkan juga melihat mereka yang tidak sabar melihat daratan yang dinanti-nanti. Kalau saya ya tentunya masih dengan kebiasaan lama kalau naik perahu.  Menyentuh air laut lalu menjilatnya dan berkata kalau air laut ternyata benar-benar asin, hehe. Gelombang tidak seberapa tinggi tapi anginnya agak nggebes jadi air lautnya nyiprat. Sebenarnya yang saya khawatirkan ada dua ketika berkemah di sana. Yang pertama spot mana yang cocok digunakan dan kedua gimana kalau nanti pengen pup (secara setiap dini hari saya rutin haha). Akhirnya Pak Sahari bantuin bicara sama penduduk setempat untuk kasih tau tempat yang pas buat mendirikan tenda. Akhirnya kami diantarkan ke tempat tersebut dan langsung mendirikan tenda. Saya tahu sih kalau saya emang gak berguna waktu bantuin mendirikan tenda, maaf ya gaes. Eh iya dengan sampainya kami di Gili Labak berarti sudah 4 pulau dalam satu hari.

Gak disangka ternyata camp ground kami menghadap arah barat dan sunset di sana kece badai. Sunset waktu itu terasa lengkap karena ada mereka yang mengisi kekosongan jiwaku. Halah... haha. Perjalanan kali ini juga membawa saya pada pengalaman baru buat saya, yaitu wudhu di laut dalam kesempatan sholat maghrib, isya', dan subuh. Beneran baru pertama kali saya melakukannya. Seperti biasa para lelaki sahabat saya itu tidak ada yang tidak mau menjadi imam sholat, ya gitu harusnya laki-laki. Tapi sholat maghrib dan isya' tidak begitu lancar, yang pertama karena datangnya seorang warga yang memberi kami ikan GT untuk makan malam yang kedua saat hendak takbir, Mas Sholeh (warga Gili Labak yang baru-baru ini saya tahu asli Banyuwangi) bilang kalau kiblat kami salah. Hasilnya kami harus mengatur ulang alas sholat kami di pantai berpasir sehalus tepung dan angin yang sanggup menerbangkan sajadah tipis kesayangan saya.

Deburan ombak yang hanya bisa didengar tanpa bisa dilihat di malam hari,
suaranya terdengar lebih garang, lebih memekakan telinga, dan lebih menggertarkan hati.
Saat sujud, angin membisikkan untuk menunduk lebih rendah.
Meletakkan semua kesombongan di pinggir pantai agar lebur menjadi buih dibawa gelombang.
Katanya suara ombak akan menjadi lebih syahdu menyentuh hati daripada memecahkan gendang telinga.
Bagaimana angin bisa begitu benar ketika kucoba melakukannya?
Ah, mungkin karena dia bersahabat dengan gelombang sehingga segala rahasia gelombang pada manusia diceritakan pada angin.
Dan angin entah kenapa dia sudi menceritakan rahasia itu padaku.
(Sepenggal monolog hati saat saya dalam keadaan sujud di bumi berpasir dan beratap kemilau bintang di langit gelap. Mungkin teman-teman juga merasakan hal yang sama.)
Senja di Gili Labak

Sesi bakar ikan setelah sholat ini yang membuat saya malu bukan kepalang, masa yang membersihkan ikan para lelaki dan kami para wanita hanya sorak-sorak bergembira. Duh biasanya kalau beli ikan besar di pasar udah sekalian dibersihkan, kecuali cumi-cumi yang selalu saya bersihkan sendiri di rumah. Ikan GT tersebut dibakar di bara api unggun dengan dibumbui kecap yang dibawa Rifki. Tsaaah Rifki emang ciamik, persiapannya keren sekali. Ikan bakar sebenarnya kesukaan saya tapi ikan laut kadang membuat saya alergi. Terakhir makan kakap putih bakar di Pantai Karanggongso langsung bereaksi gatal dan badan demam. Kali ini saya sudah mempersiapkan obat alergi karena takut tergoda untuk mencicipi tangkapan nelayan Gili Labak dan Alhamdulillah ternyata tidak alergi sama sekali. Mungkin mereka membersihkan ikannya dengan benar.
Rifki, Huda dan Mas Sholeh lagi memberiskan ikan.

Harusnya foto begini waktu ikannya masih utuh.

Nah sesi setelah bakar ikan ini yang membuat saya lepas kendali. Ini semua gara-gara Tata dan Kiki yang awalnya minta diceritain soal Niko dan ehem-ehemnya. Saya jadi sok tua kemudian sok galau, wah kredibilitas saya sebagai pendengar curahan hati dipertanyakan. Tapi ya pendengar juga manusia, hehe. Anggap saja curhatan saya itu angin lalu belaka ya rek. Tapi wah dari sesi curhat ini saya dapet banyak sesuatu yang baru. Makasih makasih atas sesi dadakan ini. Kirain kalian mau main truth or dare, wkwkwk.

Paginya setelah menikmati sunrise yang seperti kuning telur bebek langsung ceburin diri ke laut. Ini renang terpagi saya di laut. Wah sebelah barat Gili Labak emang ajib bro, seperti taman di bawah air. Lah emang disebutnya gitu di dalam RTRW. Enggak seberapa dalam hanya saja waktu itu arusnya cukup kuat jadi berasa bener kalau gak pakai fins. Sayang sekali gak ada yang bawa kamera underwater. Jenis ikannya macam-macam dan yang paling bikin bahagia waktu ketemu anemon yang artinya ketemu juga sama nemo alias ikan badut. Sudah ketemu nemo rasanya lengkap kayak udah nemu yang pas buat mengisi kekosongan hati, haha lebay.

Kali ini kami balik dari Gili Labak bukan di sore hari tapi sebelum matahari pas di atas kepala. Yaiyalah secara udah nginep ya udah puas. Pas terakhir main air mau pulang ada dua perahu yang membawa wisatawan datang. Mungkin mereka kaget melihat tenda kami dan pohon yang dipenuhi baju yang kami jemur. Dan sekali lagi kejadian mirip proses kenalan sama Mas Fahmi terjadi lagi. Baru-baru ini saya kenal sama salah satu orang di rombongan dua perahu itu di instagram. Yaelah dunia emang lucu dan karena internet semuanya jadi gak mustahil.

Entah ngantuk atau memang kelelahan, kami semua gantian tidur di perahu waktu pulang. Untung gelombang laut bersahabat. Rasanya seperti Jalan Raya Kedung Cowek, lempeng-lempeng aja. Beda kalau kemarin rasanya seperti berkendara di Jalan Kertajaya bro. Dan saya terbangun dari tidur juga karena lapar dan langsung cari makanan yang tersisa. Eh ternyata setelah sampai Pulau Poteran di rumahnya Pak Sahari kami disuguhi rujak Madura dan air es. Wah mimpi jadi kenyataan, cita-cita perut yang tercapai. Di sana selain numpang makan, kami juga numpang sholat dan urusan kamar mandi.
Huda pasrah disandari Rifki sama Boy

Sebelum matahari semakin condong ke barat, kami langsung tancap gas untuk pulang. Jarak yang cukup jauh membuat saya komat-kamit agar sampai di Surabaya tidak lebih dari jam 8 malam. Apa daya berbagai halangan merintangi kami. Mulai dari keputusan untuk nongkrong dulu di warung es jaman dulu di dekat alun-alun Pamekasan sampai ban motor sukron yang bocor saat hampir masuk hutan. Lah ini saya dan yang lainnya nungguin sambil beneran tidur di pinggir jalan. Setelahnya akibat ketiduran di motor, saya jadi gak tau ada di depan sendiri atau belakang sendiri. Saking gak taunya, saya dan Bos Hen tancap gas penuh kirain mereka sudah sampai rumah saya lebih dahulu. Dan ternyata ban Sukron bocor lagi di Tanah Merah, Bangkalan. Jadi merasa bersalah sudah sampai rumah duluan.

Perjalanan yang jauh ini emang cukup menguras energi sampai titik nol. Maaf yang sebesar-besarnya buat para lelaki kami yang cukup kewalahan menyetir sendiri tanpa ada yang menggantikan. Kalian pasti lelah tak terkira, soalnya saya juga pernah banget motoran ke sana. Kalau kalian mau marah ora popo banget lho rek, asal jangan mengumpat di  belakang. Untuk partnerku Bos Hen, terima kasih banyak tumpangannya dan lain kali kita harus pergi-pergi bareng lagi. Buat Sukron dan Hatim Rifki terima kasih atas peralatan berkemahnya yang luar biasa. Untuk para wanita Tata, Kiki, dan Anis terima kasih sudah membuat kenangan bersama-sama lagi. Niko dan Pras duo Ngagel terima kasih meskipun kalian lelah tetap ikut gabung dalam kebersamaan ini. Dan Huda yang maju mundur tapi akhirnya ikut juga terima kasih sudah memutuskan untuk bergabung, terima kasih udah boleh sisirin rambut kribo keritingmu. Soalnya kepengenan saya di Gili Labak untuk nyisirin rambut kakak saya akhirnya digantikan olehmu, haha. Terima kasih untuk kalian semua yang memutuskan untuk rela letih demi perjalanan kali ini.

Foto Keluarga

Sebelum waktu memisahkan detikku detikmu
Sebelum dewasa menua memisahkan kita
Deguban jantung kita akan selalu seirama
Ini mantera yang dulu selalu terucap, sekarang waktu telah memisahkan detik kita. Tapi setelahnya aku masih percaya kalau deguban jantung kita Insya Allah akan selalu seirama. Karena selain pada orang tua dan kakak, kalian adalah orang yang saya tidak canggung untuk mengatakan "I Love You." Selamat mengarungi hidup masing-masing, saya masih ada untuk tempat berbagi duka dan suka. Jangan canggung untuk datang kapanpun.


Post a Comment

7 Comments

  1. Hohoho..sudah muncul tulisannya ternyata..
    Semoga muncul lg tulisan2 selanjutnya ind!! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin... semoga ini bukan tulisan terakhir tentang perjalanan kita.

      Delete
  2. lebih seru lagi, kalo saling berbagi :)
    #tutorialshifu

    ReplyDelete
  3. waaah seru sekali mau juga kaya gitu ... apa banget ingin nyisirin rambut kribo .wkwks .. trs sabar yang ban motornya bocor mulu .haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha terima kasih sudah mampir. Mau juga ban bocornya atau mau juga liburannya? :p

      Delete