Catatan Hati Seorang Muslimah

Siang itu, mata ini mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru depan perpustakaan. Ada hal menarik yang membuat mataku menghentikan kegiatannya dan tidak ingin beranjak dari memandangi hal itu.


“Iya, hati-hati.” Seorang ukhti menggandeng tangan ukhti lainnya saat menuruni anak tangga depan perpustakaan yang tak seberapa tinggi itu.


“Subhanallah…” Dalam hati terus menyebut nama Allah yang telah menyempurnakan kodrat si ukhti tadi. Ya, ukhti itu sedang mengandung. Wajahnya begitu berbinar, tanda rasa syukurpada Sang Khaliq yang telah menjadikan janin dalam rahimnya. Sekelompok akhwat yang entah mereka adalah mahasiswi S2 atau S1 itu begitu perhatian pada temannya, yakni si ukhti yang sedang mengandung.


Pemandangan itu begitu mengusik jiwa, memaksa memori kembali menerawang jauh pada saat aku menuliskan tahap cita-cita yang harus aku capai. Baris demi baris aku tulis hingga sampai pada cita-cita tertinggi yang ingin aku gapai di dunia yang semu ini. Padahal sebelum tanganku bekerja sama dengan pena untuk menuliskan semua cita itu, otakku sudah jauh menerawang dalam hati agar semua yang aku inginkan dapat saling diketahui oleh otak dan hatiku, lalu otak meminta tanganku untuk menuliskannya di atas selembar kertas putih. Semua rencana hidupku yang sudah disusun oleh otak, hati, dan tangan kukira sudah begitu sempurna. Namun ternyata aku salah, Allah yang Maha Sempurna. Dia merontokkan semua citaku saat pandangan mataku tertahan pada ukhti itu.


Aku baca berulang kali tapi tetap saja aku bisa menemukan satu cita itu terselip diantara cita-cita yang lain. Lalu apa yang salah? Lagi-lagi otak dan hati saling bercakap tak ada yang ingin dipersalahkan. Ataukah qalbu sedang tertidur disaat mereka menyusun cita-citaku? Atau si nurani?

Kini siapa yang salah tak patut dipertanyakan lagi. Meski setinggi apapun cita-citaku ternyata aku tetaplah seorang wanita yang harus tetap berdiri pada kodrat yang telah ditentukan. Semuanya merombak cita-citaku yang begitu luar biasa, dan aku minta agar asa yang mulia itu masuk diantara cita yang lain. Memang aku tidak boleh melupakan tugasku, melanjutkan keturunan manusia agar tidak punah. Setidaknya itu yang disebut-sebut oleh Nabiku. Suatu saat akan ada janin dalam rahim. Ya, rahim yang didefinisikan hatiku sebagai sebagai tempat penjagaan yang penuh rasa sayang. Setelah itu bayang-bayang menjadi full time mom membuatku ragu untuk meneruskan cita-cita yang begitu tinggi. “Full time mom” tugas itu memang sangat mulia, tapi bukan berarti aku harus meninggalkan semuanya. Aku yakin Allah pasti punya jalan untukku agar semua asa yang mulia itu bisa aku gapai tanpa membuang asa yang lain.



Untuk para akhwat yang shalihah, setinggi apapun cita-cita kita. Tugas kita yang paling mulia adalah menjadi seorang ibu.

Post a Comment

1 Comments

  1. ternyata bakat menulis kamu ada dan sangat bagus.... saya suka tulisan2 anda

    ReplyDelete