Kamu dan Aku

Cerita ini hanya sebagian kecil yang selama ini ingin aku ceritakan tapi tak tau bagaimana caranya, apalagi kepada siapa aku harus bercerita. Jika pada Allah, mungkin tak perlu lagi aku seperti ini. Kurasa tanpa sadar, entah kapan, hatiku telah mendahuluiku untuk mengadu padaNya.

Tentang perahu kecilku yang telah menemukan pelabuhan untuk singgah sebelum aku berlayar lagi
Lautan itu belum terlalu liar saat aku arungi dengan perahu kecilku. namun lama terasa aku tak bisa bertahan di sini lebih lama lagi. Memandang jauh ke depan dengan seluruh kemampuan mata, terlihat perahu kecil lainnya dan rasanya aku ingin mengikutinya. Bukan karena aku mulai kehilangan arah di lautan liar ini. Mungkin karena perahuku mulai rapuh untuk berlayar dan aku takut berada di lautan ini sendirian.
Nampaknya dirimu sedang menuju pelabuhan yang kecil di daratan depan sana. Baiknya kusandarkan dulu perahuku yang mulai rapuh ini. Tahukah kamu, aku mengikutimu sampai ke pelabuhan itu. Dan kita sandarkan perahu-perahu kecil kita di dermaga yang juga kecil ini. Yang kulihat adalah pelabuhan ini hanya cukup untuk perahu-perahu kita dan satu saja bahtera yang besar. Hei, kamu turun dari perahu dan berjalan kemana? Apakah kamu sedang mencari sesuatu untuk mengokohkan kembali perahumu? Ataukah sedang mencari tahu sesuatu untuk berlayar kembali? Aku mengikutimu saja, tapi tunggulah aku yang baru saja turun dari perahuku.
Harusnya dengan tangga itu saja
Kamu, sudah berada jauh tinggi di atas sana. Tunggu ya, aku akan melompat tinggi ke sana. Tahukah kamu, aku aku sudah berada di sana dengan lompatanku tadi. Tapi sebentar, aku tak bisa mempertahankannya lebih lama lagi. Kamu, aku terjatuh, terlepas dari peganganku di sana yang dihasilkan oleh lompatanku. Tunggu ya, jangan semakin ke atas. Aku masih di sini. Ah, tapi jika kamu menungguku, itu berarti aku egois. Baiklah, aku tak akan menahanmu. Kesanalah, di atas sana. Jangan khawatir, aku tetap berusaha ke sana. Tunggu ya, aku sedang bersiap untuk melompat lagi. Kamu, aku sudah bisa meraih tempat itu. Tahukah kamu, sudah berbagai macam persiapan yang aku lakukan untuk melompat tinggi ke atas sana. Tahukah kamu, aku mampu meraihnya. Sungguh, namun aku terjatuh lagi dan lagi. Entah harus seperti apa lagi persiapanku dan lompatanku. Aku tetap terjatuh, dan aku masih saja di sini. Sedangkan kamu sudah berada jauh di atas sana.
Kulihat sekeliling dan berharap kesalahan bukan padaku. Entah bodoh atau salah, saat ini kuterpaku pada benda itu. Ah, aku tak ingin terpaku terlalu lama. Kuhampiri saja dan kulihat baik-baik. Ini tangga, ternyata aku yang salah mungkin sekaligus bodoh. Harusnya ku tak melakukan lompatan yang sia-sia itu. Harusnya aku tahu mengapa aku selalu terjatuh meski telah meraihnya. Dengan lompatan itu, tanganku hanya mampu meraihnya dan bukan memijakinya dengan pasti. Itu, dengan tangga itu. Aku mulai berpijak dan menapaki yang pertama. Meskipun tidak setinggi hasil lompatan yang kuraih namun aku tak terjatuh, karena kakiku berpijak di sini bukan hanya tanganku yang meraihnya. Kini, aku akan terus berusaha menapaki tangga ini dengan pasti dan mengikuti jejakmu yang ditinggalkan oleh hatimu. Ya, harusnya dari awal memang begini. Menapaki satu-persatu anak tangga yang ada. Bukan dengan bodohnya terus melompat meski membawaku ke tempat yang tinggi.
Seribu tanda tanya yang banyak tak kusampaikan
Aku sudah bisa menjangkau kamu dengan pandanganku. Kamu sedang melakukan apa? Kamu sedang mencari apa? Aku akan membantumu dan menjadi partnermu. Boleh kan? Ijinkan aku. Aku hanya akan sesekali bertanya ketika aku tak mengerti, bukan bertanya sesuka hatiku ketika aku ingin tahu dan belum berpikir untuk mencari jawabannya sendiri.
Untuk apa kamu mengumpulkan kayu besar yang Nampak kokoh sebanyak itu? Tanda Tanya itu tak aku sampaikan kepada kamu. Aku berpikir saja dan tetap membantu mengumpulkannya. Apakah kamu tahu? Aku tak takut saat tak bertanya padamu. Aku percaya padamu.
Mungkin lebih dari seribu tanda tanya tentang apa yang sedang kamu lakukan dan yang dengan senang hati kulakukan juga. Berusaha memijaki anak tangga tadi, rupanya mampu membuatku menyimpan tanya yang mungkin tak aka nada arti jika kusampaikan. Aku masih denganmu hingga kembali ke pelabuhan masih tanpa tanya. Di sana, kamu berkata padaku bahwa kita sedang membangun bahtera besar nan kokoh untuk berlayar kembali di lautan yang liar itu. Kamu berkata bahwa nanti bukan hanya kamu dan aku yang akan berlayar dengan bahtera itu. Kamu juga berkata tak hanya bahtera yang sedang kita bangun. Namun beberapa perahu kecil yang akan kita bawa ke dalam bahtera. Katamu itu untuk penumpang lain yang nantinya kan belajar berlayar dari kita. Hingga nanti mereka akan berlayar sendiri dengan perahu kecil itu untuk menemukan pelabuhan lain dan membangun bahteranya sendiri.
Tahukah kamu? Ternyata tadi aku memang mengikuti jejakmu yang ditinggalkan oleh hatimu. Namun tak seterusnya aku mengikutinya, sesekali aku memijaki anak tangga yang lain. Karena buatku tak seluruhnya mampu kupijaki seperti halnya anak tangga yang telah kamu pijaki. Ya, sesekali aku pijaki anak tangga lain yang sekiranya kumampu. Tahukah kamu? Aku bahagia.

Post a Comment

0 Comments