Persoalan kependudukan di Indonesia bukan hanya tentang tidak
disiplinnya berbagai proses registrasi untuk kearsipan Negara mengenai
kepastian jumlah penduduknya. Namun pada sisi tingkat kesejahteraaan penduduk
yang sering di bahas dengan berbagai variabel yang pada akhirnya dapat
menggambarkan kesejahteraan penduduk pada suatu kelompok masyarakat secara
menyeluruh ataupun kelompok masyarakat. Keterkaitan antara wilayah tempat
tinggal kelompok masyarakat, matapencaharian, dan kesejahteraan dapat diukur
dengan tingkat keberhasilan menangani berbagai indicator ketahanan pangan untuk
setiap anggota keluarga dalam kelompok masyarakat tersebut.
Sebagai Negara yang terdiri dari ribuan pulau,
tidak perlu dipertegas lagi bahwa Indonesia tentunya banyak memiliki wilayah
pesisir. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa
atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari
garis pantai. Sedangkan secara administratif kurang lebih terdapat 42 Daerah
Kota dan 181 Daerah Kabupaten yang berada di pesisir, dimana dengan kondisi
saat ini adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonom tersebut memiliki
kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. dengan
meninjau fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal
bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang. Rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang
bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar dari 126
kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian penyempurnaan RTRWN
merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kemudian pengertian ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dalam hal jumlah ataupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau. Sedangkan menurut Food
and Agriculture Organization ketahanan pangan merupakan kondisi dimana
rumah tangga memiliki akses yang baik untuk memperoleh pangan bagi seluruh
anggota keluarga baik akses fisik maupun ekonomi.
Perkembangan prasarana transportasi di wilayah pesisir di Surabaya yang sudah
tidak asing lagi, yaitu saat dibangun dan diresmikannya Jembatan Suramadu yang
menghubungkan Surabaya dengan Pulau Madura. Setelah Jembatan Suramadu resmi
beroperasi, berbagai dampak langsung
terhadap penduduk sekitar dan dampak tidak langsung terhadap lingkungan secara
otomatis langsung dapat dirasakan. Dampak langsung dari diresmikannya Jembatan
Suramadu semakin menguatkan fakta bahwa kawasan pesisir adalah cikal bakal
perkembangan urbanisasi di Indonesia. Salah satu penggambaran dari seluruh
keterkaitan antara perkembangan aksesbilitas dengan ketahanan pangan dan kesejahteraan
penduduk adalah pada Kecamatan Bulak.
Kecamatan Bulak adalah salah satu kecamtan di
Surabaya yang berada di wilayah pesisir dekat dengan Jembatan Suramadu. Penduduk
pada Kecamatan Bulak adalah masyarakat yang bermatapencaharian sektor non-perkotaan sebagai
nelayan. Dimana selama ini diketahui matapencaharian sektor non-perkotaan menjadi salah satu indikasi rendahnya tingkat
kesejahteraan. Selain itu Kecamatan Bulak yang strategis juga banyak menarik
minat penduduk Pulau Madura untuk bermigrasi dan tinggal di Kecmatan Bulak.
Perpindahan penduduk dari Pulau Madura tersebut menjadi faktor pertambahan jumlah penduduk di
Kecamatan Bulak, disamping pertambahan dari faktor penduduk asli Kecamatan
Bulak.
Menengok kembali pernyataan Malthus yang
menyatakan bahwa pertumbuhan manusia meningkat secara
eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat
meningkat secara aritmatika. Fenomena yang pernah digambarkan oleh Malthus
pada tahun 1798 tersebut kini banyak dijumpai. Dapat pula digunakan untuk
menggambarkan keadaan Kecamatan Bulak, Surabaya. Pada suatu penelitian tentang
ketahanan pangan di kampung nelayan Kecamatan Bulak yang dilakukan oleh Saudi
Imam Besari pada tahun 2010 yang menggunakan beberapa variabel untuk mengetahui
tingkat ketahanan pangan di Kecamatan Bulak. Variabel yang digunakan adalah
variabel demografi seperti usia pada tahun tersebut, usia pada saat pertama
kali melaut, pendidikan terakhir, dan status kependudukan. Sedangkan variabel
non-demografi dalam penelitian itu selanjutnya disebut sebagai variabel
ketahanan pangan yang terdiri dari pendapatan melaut, pendapatan rumah tangga,
pengeluaran rumah tangga, sisa pendapatan, kondisi rumah tinggal nelayan,
sanitasi rumah (ketersediaan MCK), bahan bakar memasak, cara memperoleh makanan
pokok, cara memperoleh lauk pauk kualitas, pangan yang dikonsumsi, frekuensi
makan dalam sehari, dan jumlah alat tangkap yang dimiliki.
Hasil akhir dari penelitian tersebut dapat
terlihat gambaran umum mengenai kondisi kesejahteraan secara realita dari
masyarakat nelayan Kecamatan Bulak. Pada pendapatan total masyarakat nelayan
Kecamatan Bulak pada umumnya adalah Rp 1.000.000–Rp 2.000.000. pengeluaran
pangan mayoritas adalah Rp 500.000-Rp 1.000.000, sedangkan untuk non-pangan
adalah sebesar kurang dari Rp 500.000. kondisi rumah mayoritas adalah rumah
permanen namun kurang didukung sanitasi yang baik dan lengkap. Pendidikan
terakhir nelayan di Kecamatan Bulak adalah mayoritas Sekolah Dasar dan hampir
semua nelayan memiliki alat tangkap ikan sendiri.
Angka pada pendapatan dan pengeluaran pada
mayoritas tidak jauh berbeda dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan
masyarakat di kampung nelayan Kecamatan
Bulak Surabaya. Matapencaharian utama sektor
non-perkotaan sebagai nelayan kurang mampu untuk menopang seluruh kebutuhan
keluarga masyarakat nelayan. Ditambah lagi dengan pada tahun 2009 perairan
Selat Madura mengalami overfishing lebih
dari 12% sehingga produktivitas perikanan Selat Madura menurun dari tahun ke
tahun. Jika regulasi untuk membatasi
jumlah nelayan dan armada kapal yang melaut yang pernah diusulkan oleh Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur jadi disahkan maka masyarakat
kampung nelayan Kecamatan Bulak akan kebingungan untuk mencari sumber
pendapatan yang lain.
Penjual Ikan Asap di Depan TPI Bulak |
Oleh-oleh Kerupuk Ikan |
Karena mayoritas mereka hanya mengandalkan
hasil melaut serta tingkat pendidikan terakhir dan keterampilan yang kurang
menjadikan mereka akan sulit mencari pendapatan dari sektor-sektor lain. Untuk
itu selain mengandalkan hasil melaut yang saat ini mulai tidak stabil,
masyarakat nelayan sebaiknya mulai beradaptasi dengan memperhatikan sector
pendapatan lain yang sesuai dengan kemampuan dan yang mampu untuk menopang
kebutuhan pada saat mereka tidak melaut. Salah satu pendukung masyarakat untuk beradaptasi mencari pendapatan selain
melaut adalah mudahnya aksesbilitas menuju pusat-pusat kota hingga setidaknya
sebagian besar indikator-indikator dari FAO (Food Agriculture Organization) untuk ketahanan pangan sebagian
besar dapat terpenuhi dengan baik, seperti kecukupan ketersediaan pangan,
stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi berarti
dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesbilitas atau keterjangkauan
terhadap pangan, dan kualitas atau keamanan pangan. Jika satu-persatu indikator
tersebut terpenuhi maka harapan masyarakat nelayan Kecamatan Bulak telah mampu
menuju adaptasi matapencaharian selain melaut, ketahanan pangan dan kesejahteraan yang semakin membaik.
0 Comments