Dulu
sewaktu masih Sekolah Dasar (SD), saya senang sekali kalau kelas saya kebagian
masuk pagi. Yang istimewa dari masuk pagi
adalah saya bisa menjumpai penjual sarapan paling istimewa di depan sekolahan.
Menu yang dijual ada 3 macam, yaitu Lontong Mie, Bubur Putih dengan gula jawa,
dan juga Bubur Sagu. Penjual tersebut adalah ibu dari teman sekelas saya,
mereka sekeluarga berasal dari Pulau Madura.
Orang
bilang masakan Suku Madura itu sedapnya tiada tara, mungkin itu yang membuat
saya masih ingat dengan jelas rasanya. Bahkan sampai beberapa tahun saya
sempatkan untuk berkunjung dan ternyata beliau masih bertahan dengan menjual
sarapan di sana. Lalu menu apa yang menjadi favorit saya dari dagangan beliau?
Yang
paling sering saya beli adalah Lontong Mie dan Bubur Sagu. Saat butuh yang
segar saya membeli Lontong Mie dengan sedikit sambat petis, saat ingin makan yg
tidak ribet dan cepat meningkatkan energi saya memilih Bubur Sagu. Sampai saat
ini Bubur Sagu masih sering dimasak di rumah saya.
Mengenang
masa lalu memang selalu menyenangkan ya? Saya sampai lupa bercerita bagaimana
bisa Bubur Sagu yang merupakan komoditas pangan dari hutan di Indonesia Timur
hingga bisa menjadi makanan favorit saya. Saya sendiri lahir dan tinggal di
Surabaya, Jawa Timur. Kakek dan Nenek serta kedua orang tua saya juga berasal
dari Surabaya. Namun Bubur Sagu sudah lazim saya jumpai sedari kecil.
Sebenarnya
saya tidak yakin apakah di seluruh Jawa Timur memiliki tradisi ini atau tidak
saat saya menulis sub judul ini. Di keluarga saya dan lingkungan rumah kami,
Bubur Sagu juga menjadi hidangan yang dimasak ketika memiliki bayi yang sudah
bisa berjalan. Kemudian Bubur Sagu ini dihantarkan kepada saudara dan tetangga
sekitar sebagai bentuk rasa syukur karena anak atau cucunya sudah bisa
berjalan.
Jangan
membayangkan Bubur Sagu ini seperti Papeda yang lazim dimakan oleh masyarakat
di Indonesia Timur sebagai makanan pokok. Sama sekali berbeda bentuknya dari yang
teman-teman bayangkan (bagi teman-teman yang belum pernah melihat makanan ini).
Bubur Sagu kami berwarna coklat kemerahan yang disiram dengan santan cair.
Sagu kotak atau sagu lempengan |
Meskipun
kami sebagai orang Jawa Timur sangat familiar dengan Bubur Sagu tapi olahan
makanan ini khas dari Ambon. Sagu yang sampai ke Jawa Timur yang dimasak
menjadi bubur ini berupa sagu lempengan. Orang-orang juga menyebutnya sagu
kotak atau sagu Ambon. Kemudian direndam hingga hancur dan dimasak bersama gula
merah lalu setelahnya disiram santan.
Nutrisi Dan Manfaat Sagu Sebagai Bahan
Pangan Dari Hutan
Kandungan
nutrisi yang paling banyak terkandung dalam sagu adalah karbohidrat. Dalam 100
gram sagu terdapat 84,7 gram karbohidrat, 11mg kalsium, 13mg fosfor, dan 2mg
zat besi. Karbohidrat yang dimiliki sagu memang lebih banyak dibandingkan
dengan sagu, di mana setiap 100 gram beras memiliki karbohidrat sekitar 78,9
gram.
Melihat
kandungan tersebut sagu sebagai bahan pangan dari hutan cocok dijadikan sumber
energi. Saya ingat sewaktu Sekolah Dasar selepas pelajaran olahraga, saya lebih
memilih untuk membeli Bubur Sagu daripada Lontong Mie. Rupanya sagu memang baik
untuk memberi energi kembali, pemulihan otot, dan sendi.
Selain
itu saya cukup sering terkena sakit yang mengakibatkan sistem pencernaan saya
lemah. Saat sakit seperti itu dokter selalu mewajibkan saya mengonsumsi makanan
yang mudah dicerna saja. Saya lebih memilih untuk makan Bubur Sagu dibandingkan
dengan bubur yang terbuat dari beras. Selain memberikan energi lebih ternyata
kandungan sagu juga baik untuk pencernaan.
Sagu
ternyata mampu meningkatkan enzim di dalam sistem pencernaan dan usus agar
melindungi usus agar tidak kering. Bagi pasien dengan keluhan dari kembung,
asam lambung, hingga muntaber, efek mengonsumsi sagu bisa menenangkan dan
mendinginkan perut dan sistem pencernaan. Tidak hanya itu, saat demam juga sagu
bisa mendinginkan suhu tubuh secara efektif.
Pohon Sagu Sebagai Penyelamat Lingkungan
Melihat
manfaat sagu sebagai bahan pangan dari hutan saja sudah cukup menarik, namun
pohon sagu sendiri juga ternyata memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan
lingkungan. Pohon sagu (Metroxylon sagu) merupakan
tanaman tropis, di Indonesia sendiri tanaman ini tersebar di Papua, Maluku,
Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Mentawai. Sebaran terluas
hutan sagu terdapat di Papua dan Maluku yang juga menjadi pusat keragaman sagu
paling tinggi di dunia.
Saya
ingat sewaktu menonton acara televisi tentang penjelajahan hutan yang memiliki
pohon sagu, pembawa acara menunjukkan lahan dengan air yang sangat banyak.
Pembawa acara tersebut menjelaskan jika pohon sagu mampu menangkap air dan
menyimpan cadangan air tanah.
Dalam
Jurnal Arkeologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga membahas mengenai
manfaat Hutan Sagu sebagai daerah tangkapan air. Secara ekologis, keberadaan
hutan sagu mempu melindungi air tanah, menyimpan dan memberikan air pada
habitatnya, sehingga bisa mengendalikan ketersediaan air tanah.
Tanaman
sagu dapat tumbuh di lahan rawa, tepi pantai, lahan gambut dan daerah aliran
sungai (DAS). Pohon sagu mampu menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen
lebih besar dibandingkan tumbuhan lainnya. Keberadaan pohon sagu di tepi pantai
bisa melindungi pantai dari endapan dari daratan ke laut, melindungi daratan
dari gelombang pasang, selain itu juga mampu mengendalikan intrusi air laut
sehingga ketersediaan air tanah di daratan juga bisa terjaga.
Pada
peringatan Hari Sagu 21 Juni 2019, digagas juga mengenai upaya penyelamatan DAS
yang kritis dengan pohon sagu. Mengutip artikel dari Mongabay “Sagu Bukan Hanya
Pangan, Tapi Juga Identitas Budaya” oleh Balai Penelitian dan Pengembangan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Balitbang) Palembang, berdasarkan data BPDAS
Musi 2011 tercatat 1,7 hektar luas lahan DAS Musi berstatus dari agak hingga
sangat kritis.
Berdasarkan
keadaan tersebut para pemangku kepentingan diharapkan bisa memulai restorasi
DAS dan lahan gambut dengan membudidayakan Sagu. Sehingga sagu juga bisa
dimanfaatkan sebagai penyelamatan lingkungan dan juga bahan pangan dari hutan. Mengingat
sagu juga sebagai bahan utama dalam pembuatan Pempek.
Sagu
sebagai sumber pangan dari hutan yang kita tahu sangat beragam cara
pengolahannya seperti bubur sagu favorit saya, juga memiliki manfaat yang
sangat banyak bagi lingkungan. Sebagai sumber pangan dari hutan sudah tentu
harus kita jaga untuk ketahanan pangan, apalagi sebagai penyelamatan
lingkungan.
Hal
tersebut sejalan dengan visi dan misi yang diusung oleh WALHI, yaitu menjaga
sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Tugas
kita bersama untuk menjaga agar sumber pangan dari hutan tetap lestari hingga
anak cucu kita nanti, serta mereka juga berhak atas lingkungan yang sehat
seperti yang kita nikmati saat ini.
Referensi:
http://cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/87192/Kandungan-Gizi-Tepung-Sagu/
https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/manfaat-sagu-untuk-kesehatan/
Wijaya, Taufik.2019.Sagu Bukan Hanya Pangan Tapi Juga Identitas Budaya.
www.mongabay.co.id/2019/06/26/sagu-bukan-hanya-pangan-tapi-juga-identitas-budaya/ (Diakses tanggal 3 Februari 2020)
Vita.2017. Etnobotani Sagu (Metroxylon
Sagu) Di Lahan Basah Situs Air Sugihan, Sumatera
Selatan: Warisan
Budaya Masa Sriwiijaya. KALPATARU Majalah Arkeologi, 26(2), 107-122.
Disclaimer: Tulisan ini diikutsertakan dalam
kompetisi blog Forest Cuisine yang diselenggarakan oleh WALHI.
2 Comments
Aku sering makan papeda dan kapurung dulu waktu tinggal di Papua dan Makassar
ReplyDeleteHmm kalau saya ke Madura, kayaknya mesti makan bubur sagu deh
ReplyDelete